Salah satu ciri seorang muslim yang baik adalah memaafkan kesalahan saudaranya . Rasulullah saw pernah bilang seperti itu kan? Cuma,
saya lupa bagaimana redaksinya. Lalu bagaimana dengan seorang muslim
yang meminta maaf atas kesalahan dan kekhilafannya kepada
saudara-saudaranya? Tentu baik, Allah mengingatkan kita tentang itu.
Mm... lagi-lagi saya lupa bagaimana redaksi. Buruk dan payah sekali.
Ya.. Akhir-akhir ini saya dihantui perasaan bersalah. Kesalahan itu
entah mengapa serasa terbang mengikuti kemana saja saya pergi. Tidak
hanya satu, mereka berbanyak. Saya seperti daging busuk yang dikerubungi
lalat-lalat. Kemana saja daging busuk itu dibawa, lalat-lalat itu
mengikuti. Kembali menyerubungi.
Rasa bersalah kepada banyak manusia. Manusia-manusia yang pernah ada
dan sedang hadir dalam kehidupan saya. Manusia-manusia terkasih. Itulah
mengapa saya merasakannya, mungkin. Sudah dihaturkan maaf tidak
terhitung, sudah dilupakan, dan disembuhkan semua yang pernah menggores
masing-masing hati, juga sudah mencoba untuk tidak mengulangi
kesalahan-kesalahan yang sama. Namun, tetap ada kalanya rasa sesal atas
kesalahan itu timbul. Meski nantinya akan tenggelam kembali. Sebuah
siklus, yang tidak akan pernah berhenti kecuali Allah memberhentikan
waktu.
Pernah ada berbilah pedang yang saya hujamkan pada dua tubuh manusia
terkasih. Pada masa-masa saya harus bersama mereka setiap waktu, dari
bangun tidur hingga saya tertidur kembali. Saya pernah (sedikit)
membentak mereka, sering menolak permintaan dan perintah mereka, sering
mengeluhkan ketiadadayaan mereka, sering “merampok” uang mereka untuk
kepentingan saya sendiri, sering berwajah masam dan marah di hadapan
mereka. Ah.. terlalu banyak. Lebih banyak lagi!
Pernah ada banyak mata panah yang saya tancapkan pada tubuh manusia
lain. Suatu waktu saya memandang tajam dengan penuh benci,
mempertunjukan wajah lusuh, dan hadir di antara mereka dengan mulut yang
membungkam. Diam. Tidak berkata apapun.
Ada begitu banyak butir peluru yang saya tembakkan pula pada tubuh
manusia lain. Lidah berkata yang tidak seharusnya dikeluarkan,
meninggikan suara alias membentak, menyindir tanpa peduli dengan
perasaan atau mungkin kondisi hati.
Juga, ada tombak-tombak tajam yang pernah saya lontarkan pada tubuh
manusia yang lainnya lagi. Mulut mengatakan sesuatu yang tidak
diperkenankan, hingga akhirnya memporak-porandakan bangunan ukhuwah.
Atau tidak mau memenuhi hak saudara, menolak permintaannya,
membiarkannya meringkuk kesakitan, lupa memberikan perhatian dan hadiah,
atau lupa memenuhi hutang serta janji-janji. Sering pula menunda waktu
perjumpaan, berkata yang tidak nyata, juga berpura-pura tidak tahu
apa-apa akan sebuah keadaan. Bersikap masa bodoh.
Pedang, panah, peluru, dan tombak itu sudah dicabut dan dikeluarkan
dari tubuh manusia-manusia malang yang menjadi korban kejahatan saya.
Saya coba menyembuhkannya dengan berusaha tidak mengulangi, berusaha
untuk mempersembahan pertunjukan bahwa saya ada manusia yang baik, tidak
akan pernah lagi menghujamkan pedang, menancapkan panah, menembakkan
peluru, dan melontarkan tombak ke tubuh mereka. Akan tetapi saya takut,
ragu, dan tidak tahu, apakah luka yang pernah saya buat itu benar-benar
telah sembuh? Apakah tidak lagi membuat sakit dan telah hilang bekasnya?
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.
Ingin benar-benar seperti yang difirmankan Allah dalam surat Huud : 114
itu. Saya ingin selalu menebarkan kebaikan agar tertutup dan
terhapuslah semua dosa-dosa.
Wallahua’lam.
Dan, ijinkanlah saya haturkan satu kata.. pada kalian yang pernah tersakiti:
Maaf.
@Kamar Kotak, 2 Januari 2013, 22:34 WIB