Jumat, 18 Januari 2013

Tentang Dalam Hati




Biarkan semua menjadi catatan kecil dalam hati
Berserakan seperti daun-daun yang berguguran kemarin
Seperti itu mungkin lebih baik
Untuk saat ini, juga mungkin esok hari

Biarkan sebagian dari cintaku
Menjadi kepingan-kepingan di hati
Seperti, terseraknya daun-daun yang aku lihat kemarin
Di pinggir-pinggir jalan,
Di halaman rumah yang tak lebar
Kering, namun aku yakin akan menyuburkan

Tentang aku saat ini,
Merapuh tiba-tiba
Retak seperti tanah-tanah kekeringan
Lapuk layaknya bebatuan digerus air

 (Dey Iftinan)


*Telah dimuat di Majalah Pewara Dinamika UNY, Edisi November 2012


Kamis, 17 Januari 2013

Rindu Lagi

Dalam rinai hujan
Aku meringkuk membeku,
Menahan rindu pada bunda
Ingin menegak sayang ayahanda
Tubuh ini basah bukan karena titik air hujan
Tapi rintikan tangisan hati,
Yang jatuh membasahi diri
Dalam erangan angin sore
Aku menatap diri,
Se –durhaka itukah aku?
Hingga berbulan-bulan tak menampakan diri,
Di hadapan bunda
Se-tega itukah aku?
Hingga beribu waktu tak menyandarkan diri
pada bahu ayahanda
Hujan dan bayu menghakimi diriku,
Meluruhkan hati yang telah dibalut rindu
Rindu tiada henti pada insan terkasihi

“Rindu lagi”
@ Puskom, lt.2 15;07 wib
Yogyakarta, 19 Mei 2010


Cermin Diri

Entah kini kita seperti apa,
Hujan yang menerjunkan diri
Awan yang melayang-layang
Juga sinar matahari temaram di senja kemarin,
Tidak mau mengabarkannya
Cantik kah? Rupawan kah? Sholih kah?
Mana yang lebih penting?
Entah esok kita menjadi apa,
Perilaku, tabiat
moral, izzah
sudah berlalu dibawa angin
yang kita pegang erat-erat adalah harta
yang kita peluk mesra adalah jabatan
entah apa yang sekarang kita pikirkan,
bukan lagi akhlaq, iman
apalagi kesaksian kita kepada Allah: sudah tergadaikan!
Tapi kita berpura-pura lalai
Atau... melalaikan?
Biarlah... hujan, awan, dan matahari enggan mengabarkan
Karena seperti inilah kita : saat ini
Berpura-pura tidak tahu, dalam kejahilan


-dey
Edited: 17 Februari 2012








Mungkin Catatan yang Keempat




Salah satu ciri seorang muslim yang baik adalah memaafkan kesalahan saudaranya . Rasulullah saw pernah bilang seperti itu kan? Cuma, saya lupa bagaimana redaksinya. Lalu bagaimana dengan seorang muslim yang meminta maaf atas kesalahan dan kekhilafannya kepada saudara-saudaranya? Tentu baik, Allah mengingatkan kita tentang itu. Mm... lagi-lagi saya lupa bagaimana redaksi. Buruk dan payah sekali.

Ya.. Akhir-akhir ini saya dihantui perasaan bersalah. Kesalahan itu entah mengapa serasa terbang mengikuti kemana saja saya pergi.  Tidak hanya satu, mereka berbanyak. Saya seperti daging busuk yang dikerubungi lalat-lalat. Kemana saja daging busuk itu dibawa, lalat-lalat itu mengikuti. Kembali menyerubungi.

Rasa bersalah kepada banyak manusia. Manusia-manusia yang pernah ada dan sedang hadir dalam kehidupan saya. Manusia-manusia terkasih. Itulah mengapa saya merasakannya, mungkin. Sudah dihaturkan maaf tidak terhitung, sudah dilupakan, dan disembuhkan semua yang pernah menggores masing-masing hati, juga sudah mencoba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama. Namun, tetap ada kalanya rasa sesal atas kesalahan itu timbul. Meski nantinya akan tenggelam kembali. Sebuah siklus, yang tidak akan pernah berhenti kecuali Allah memberhentikan waktu.

Pernah ada berbilah pedang yang saya hujamkan pada dua tubuh manusia terkasih. Pada masa-masa saya harus bersama mereka setiap waktu, dari bangun tidur hingga saya tertidur kembali. Saya pernah (sedikit) membentak mereka, sering menolak permintaan dan perintah mereka, sering mengeluhkan ketiadadayaan mereka, sering “merampok” uang mereka untuk kepentingan saya sendiri, sering berwajah masam dan marah di hadapan mereka. Ah.. terlalu banyak. Lebih banyak lagi!

Pernah ada banyak mata panah yang saya tancapkan pada tubuh manusia lain. Suatu waktu saya memandang tajam dengan penuh benci, mempertunjukan wajah lusuh, dan hadir di antara mereka dengan mulut yang membungkam. Diam. Tidak berkata apapun.

Ada begitu banyak butir peluru yang saya tembakkan pula pada tubuh manusia lain. Lidah berkata yang tidak seharusnya dikeluarkan, meninggikan suara alias membentak, menyindir tanpa peduli dengan perasaan atau mungkin kondisi hati.

Juga, ada tombak-tombak tajam yang pernah saya lontarkan pada tubuh manusia yang lainnya lagi. Mulut mengatakan sesuatu yang tidak diperkenankan, hingga akhirnya memporak-porandakan bangunan ukhuwah. Atau tidak mau memenuhi hak saudara, menolak permintaannya, membiarkannya meringkuk kesakitan, lupa memberikan perhatian dan hadiah, atau lupa memenuhi hutang serta janji-janji. Sering pula menunda waktu perjumpaan, berkata yang tidak nyata, juga berpura-pura tidak tahu apa-apa akan sebuah keadaan. Bersikap masa bodoh.

Pedang, panah, peluru, dan tombak itu sudah dicabut dan dikeluarkan dari tubuh manusia-manusia malang yang menjadi korban kejahatan saya. Saya coba menyembuhkannya dengan berusaha tidak mengulangi, berusaha untuk mempersembahan pertunjukan bahwa saya ada manusia yang baik, tidak akan pernah lagi menghujamkan pedang, menancapkan panah, menembakkan peluru, dan melontarkan tombak ke tubuh mereka. Akan tetapi saya takut, ragu, dan tidak tahu, apakah luka yang pernah saya buat itu benar-benar telah sembuh? Apakah tidak lagi membuat sakit dan telah hilang bekasnya?

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Ingin benar-benar seperti yang difirmankan Allah dalam surat Huud : 114 itu. Saya ingin selalu menebarkan kebaikan agar tertutup dan terhapuslah semua dosa-dosa.
Wallahua’lam.

Dan, ijinkanlah saya haturkan satu kata.. pada kalian yang pernah tersakiti:
Maaf.

@Kamar Kotak, 2 Januari 2013, 22:34 WIB