Jumat, 27 Januari 2012

Suatu Sore Bersama Abah

 Merangkum percakapanku dengan Abah kemarin. Ringan.... tapi begitu dalam.

"Angine gedhe kaya kiye, gendhenge gigal ora mikirke bathire. ya anu padha mikir, ' Lah, wong ngene bathire ya padha gigal!'" ( Anginnya kenceng kayak gini, gentengnya jatuh gak mikirin tetangga. Soalnya semua bepikir,' Lah, gentengnya tetangga juga sama, pada jatuh!)

" Hm... nggih." 

Aku hanya tersenyum meng-iyakan. Lalu, Abah pun melanjutkan perkataannya,
" Ya Allah... apa maning angger kiamat ngesuk, kabehan sibuk mikirke awake dhewek. Anak kelalen, bojo kelalen, omah kelalen, kelalen kabeh!" (Ya Allah... apalagi kalo kiamat besuk, semua sibuk memikirkan diri sendiri. Anak, istri, rumah ; lupa. Lupa akan semua!)

Kemudian, beliau menyambungnya dengan potongan sebuah ayat (*saya lupa bunyinya... ^^), yang intinya menjelaskan keadaan manusia pada hari kiamat kelak; manusia lari tunggang-langgang, sibuk menyelamatkan diri mereka sendiri.

" Hhhh..." , aku dengar nafas berat Abah. 

" Sibuk menyelamatkan diri sendiri ya, Bah?", kataku menanggapi beliau.

" Iya. Ya Allah... mulane sing padha ana syukure, ora duwe duwit kaya kiye ya ora papa, sing penting sehat, waras. MasyaAllah... kelingan jaman remajane budhe, saiki gerah kaya kae." (Iya. Ya Allah... makanya yang banyak bersyukur, gak punya uang kayak gini ya gak apa-apa, yang penting sehat. MasyaAllah.. ingat jaman remajanya budhe, sekarang malah sakit kayak gitu." 

Kata beliau sambil merebahkan diri di kursi kayu favoritnya. Matanya yang masih tajam itu menerawang langit di luar dan memperhatikan bagaimana angin kencang menyibak pepohonan di kebun belakang rumah. Aku pun mengikuti jejak Abah, ikut larut menatap pemandangan dari balik jendela.

Setibanya dari Jogja, saya tidak langsung ke rumah, tapi singgah ke rumah simbah dulu karena waktu sudah petang, pas adzan Maghrib. Ternyata ba'da Isya, Ibu, Abah, dan dik Barok juga mampir... Bersualah rinduku di situ...:).

" Mbak, nderek teng daleme budhe riyin nggih? ( Mbak, ikut ke tempat budhe dulu ya?) " kata Ibu.

" Wonten nopo, Bu?" 

" Budhe gerah... "

Rumah budhe tidak jauh dari rumah simbah, hanya terpisah tiga rumah. Sesampainya di sana, barulah saya tahu kalau budhe sakit parah dan sedang menjalani kemoterapi. Hm... betapa mahalnya sehat itu. (*sepotong kisah...)

Sore itu angin begitu kencangnya, mencoba mengoyak pepohonan. Pohon kelapa, lamtoro, pohon nangka, pohon pisang, salam, cengkih, pohon rambutan, dan bambu.... berlomba-lomba mempertahankan diri. Jadi mirip cerita Abah, seperti manusia di hari kiamat, yang sibuk menyelamatkan diri sendiri. Membayangkan hari kiamat yang luar biasa dahsyatnya, tentu ilmu kita tidak akan pernah sampai. Tapi, Allah sudah memberi penjelasan dalam Al Qur'an, bagaimana keadaan di hari kiamat kelak. Semoga kita semua tidak menjadi saksi atas hari dimana dipertemukannya gunung-gunung dan lautan. Na'udubillah.                                        
Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah.” Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.
(QS. Al-Ahzab (33): 63)

... dalam keremangan, 
di bawah cahaya lilin
* semangat perbaikan itu tak akan pernah meredup

Rabu, 25 Januari 2012
(dey, Rumah Cinta)

Rabu, 25 Januari 2012

Sebelum mudik...

Sudah lewat dua jam menghadap laptop, tapi tak adaa...bosannya. Dua jam yang lalu itu saya sudah siap-siap mau mudik. Baju-baju yang belum sempat disetrika sudah saya lipat, kos sudah saya bersihkan, beberapa lembar baju kotor tinggal saya kucek, dan makan pagi sudah saya siapkan, tapi belum kunjung saya habiskan. Ada apa ini? 

Padahal, sebelum mudik saya berniat mampir ke kampus dulu, "menjenguk" pengumuman KKN (kabarnya baru saja ada) dan ke kos kakan dulu (setor 'upeti' sebelum mudik alias uang saku. lho? TIdak kebalik ya? :p). Tapi, itu juga belum juga saya lakukan. Nyatanya sekarang saya masih asyik bermain-main dengan keyboard. Hehe


Saya jadi teringat dengan perkataan seseorang, 
" Jangan suka jadi orang yang hanya berILUSI dan berWACANA. Atau, aku panggil kamu Miss Ilusi dan Wacana?"

 Dua kata itu berkerabat dekat dengan " Berkata tanpa Realita" yang sudah begitu membudaya di generasi muda negeri kita. Apa jadinya kalau saya dinobatkan sebagai Miss Ilusi dan Wacana? Hiiy, mendengarnya saja saya sudah 'ngeri'.

Jika melihat dari sudut pandang yang berbeda, dalam dunia dakwah misalnya... Ilusi dan Wacana mungkin berkerabat lebih dekat dengan " Yaa ayyuhalladziina aamanuu lima takuuluuna maalaa taf'aluun", artinya " Wahai orang-orang yang beriman, kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?" (Ash Shaff : 2). Kebanyakan dari kita, terjebak dalam pundi-pundi ketidakberdayaan bahwa kita seringkali mengatakan ini-itu, harus ini-harus itu, kepada orang lain (binaan, saudara, teman) padahal kita sendiri pun belum melakukannya. Atau redaksi lain, kita sering bermaksiat tapi kita mengatakan kepada orang lain bahwa kita tidak boleh melakukan ini dan itu, padahal erap sekali kita mempraktekkannya. Naudzubillah..

Maka barangkali, 
" Kabura maqtan 'indallaahi antaquuluu maalaa taf'aluun (Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan)" (Ash Shaff : 3)

menjadi cambuk bagi kita, sebagai siapa pun... dimana pun dan kapan pun. Karena Allah adalah Dzat Yang Maha Teliti dengan apa-apa saja yang kita perbuat, dan akan ada malaikat yang dengan setia mencatat amal-amal kebaikan serta keburukan kita.
Wallahua'alam.


 Hmmm... Sudah terlalu jauh saya berkata-kata. Ngelantur kemana-mana.. Sampai-sampai; sekali lagi, lupa dengan agenda mudiiik! 
 
Bismillah...

 ... bersama gunung-gunung 
yang mengapit jalan
juga hamparan tanaman yang menghijau,
Aku dan hatiku,
menyenandungkan rindu; pada ayah dan ibu



(dey, 24 Januari 2012, Kamar Cinta no.4)






Ketika Aku dan Dia, Tak Bersama...


Lagi-lagi harus menanam rindu
Harus kusiram rindu dengan cinta
Aku pupuk rindu dengan sayang
Agar tidak kering layu
Lalu luruh dibawa bayu
Cintaku, teruskanlah juangmu
Tegarkanlah langkahmu, di situ.

(dey, 14 Mei 2010)
untuk adikku tercinta, Umar Mukhtar W 

Selasa, 24 Januari 2012

Ninomiya Sontoku


                        Beberapa waktu yang lalu, tepatnya awal bulan Januari… saya tanpa sengaja menemukan note yang ‘menggelitik’  di facebook teman “Meita Wulan Sari” (http://www.facebook.com/notes/meita-wulan-sari/ninomiya-sontoku/10150533978257220). Selengkapnya, bisa dibaca sendiri yaa. Semoga bermanfaat… ^^

Ninomiya Sontoku

Tema Filosofi bangsa mengingatkan saya pada peristiwa kira-kira setahun lalu ketika saya bertemu dengan Matshumoto San, seorang guru di SMA Toshima yang sedang mengambil program master di sebuah Universitas di Jepang. Perbincangan yang berjalan lebih dari 45 menit itu sampai menyinggung Ideologi bangsa Jepang, dan yang saya kaget Matshumoto San tau tentang Pancasila sebagai Ideologi bangsa Indonesia dengan segala pujian teoritisnya sekaligus miskin prakteknya. Nahh ketika saya tanya tentang ideologi bangsa Jepang? Ia hanya bisa menjawab dengan senyuman sambil mengatakan “we don’t have Ideology “.
Beberapa bulan lalu, saya berbincang lama dengan Koichi Tokuda, seorang Professor Emeritus Tokyo Institute of Technology, kebetulan beliau adalah juga chief adviser of JICA yang sedang mendalami pembelajaran science di Indonesia, di penghujung pembicaraanya beliau berkomentar bahwa kurikulum science di Indonesia terlalu tinggi untuk level SMP dan SMA nya dan beliau tidak bisa membayangkan bagaimana content kurikulum yang begitu padat itu bisa dipraktekkan dengan fasilitas laboratorium di Indonesia yang sangat terbatas.
Dari kisah bertemu dengan Matshumoto dan Koichi Tokuda saya kira bisa sedikit menangkap struktur berfikirnya, bahwa ideologi yang tidak diparktekkan dan kecanggihan teoritis yang kosong eksperimen adalah sebuah kesia-siaan belaka. Nah, ini saya kira kritik tersembunyi manusia Jepang untuk bangsa Indoensia. Dan ini nampaknya penyakit kronis yang menjangkit cukup lama di tubuh bangsa Indonesia.

GARIS LURUS YANG NYARIS SEMPURNA
Dua tahun lalu, saya pernah mengajar di sebuah sekolah Jepang di wilayah Torideshi Ibaraki tentang budaya Indonesia. Mereka tentu saja sangat antusias dengan presentasi budaya, bahkan sejumlah tarian daerah yang mereka lihat gambar-gambarnya minta saya untuk mempraktekkannya, walhasil antusiaisme anak-anak berlanjut dengan tepuk tangan. Nah, di sekolah inilah saya justru belajar banyak secara langsung karena seharian bersama mereka dan guru-gurunya. Saya belajar dari standarisasi sekolah Jepang, dengan fasilitas yang memadai, juga belajar bagaimana contextual teaching learning dijalankan, selain itu saya juga belajar bagaimana PTA (Parents and Teachers Association) mereka menjalankan fungsinya bagi kemajuan sekolah. Dan jangan pernah menanyakan kesejahteraan para gurunya? Kita terlalu jauh tertinggal untuk yang satu ini. Di sekolah yang saya kunjungi ini, lokasinya berdekatan dengan masyarakat dan dikelilingi kebun, tanaman-tanaman bunga, dan pepohonan yang rindang, disini juga saya menemukan sebuah konsistensi perilaku di tiga lingkungan pendidikan (di rumah, sekolah dan di masyarakat). Di tiga lingkungan ini tidak ada ambivalensi perilaku, baik di rumah, disekolah dan dimasyarakat, nilai-nilai kejujuran, kebersihan, ketertiban sejalan seperti garis lurus yang nyaris sempurna. Hal demikain adalah fenomena umum di negeri sakura ini. Bagaimana di Indonesia? Jawabanya singkat saja “garisnya masih bengkok, berantakan, dan bahkan patah-patah !!!”, perilaku di rumah, di sekolah dan di masyarakat sangat jauh bertentangan.

MENGEJAR KESEMPURNAAN DAN SEMANGAT BUSHIDO
Bagaimana watak manusia Jepang terbentuk sehingga filosofi “mengejar kesempurnaan” begitu kuat dimiliki bangsa Jepang ? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu saja tidak mudah dan tidak singkat, sebab ini menyangkut pengetahuan kita tentang sejarah manusia Jepang. Setidaknya dengan sejarah kita diingatkan bahwa bangsa Jepang sebelum Restorasi Meiji adalah bangsa yang penuh carut marut konflik sosial dan konflik antar kelompok, termasuk carut marut ekonomi. Pristiwa Restorasi Meiji 1868 adalah sejarah agung manusia Jepang sesudah carut marut politik itu. Restorasi Meiji menjadi sejarah besar yang pengaruhnya begitu abadi bagi bangsa Jepang hingga saat ini. Bayangkan ketika Kaisar Meiji mengeluarkan proklamasinya yang terkenal (pembentukan parlemen, harus bersatu utk mencapai kesejahteraan bangsa, semua jabatan terbuka utk semua orang, adat istiadat kolot yang menghalangi kemajuan harus dihapus, mengejar kemajuan sebanyak mungkin untuk pembangunan negara). Sejak itu wajib belajar 6 tahun sudah digalakkan, bahkan 6 tahun kemudian (1872) membuat kebijakan wajib belajar 9 tahun (Indonesia baru tahun 1999). Selain itu pengiriman pelajar ke luar negeri juga besar-besaran dilakukan. Dari akar sejarah ini, Jepang menemukan keagungan masa lalunya yang berjalan lurus menggerakkan kemajuan bangsanya hingga saat ini. Meskipun penggalan sejarah gelap pernah Jepang lalui saat Perang Dunia II. Mengenai ini saya kira sudah mahfum diketahui oleh siapapun yang concern dengan Jepang, apalagi temen-temen yang tinggal di Jepang.
Motoyasu Tanaka dari Kementrian Luar Negeri Jepang ketika memediasi guru-guru pesantren yang diundang ke Jepang beberapa bulan lalu, pernah berbicara cukup serius dengan saya ketika menyinggung soal mental manusia Jepang. Tanaka San mengatakan bahwa mental manusia Jepang memang telah lama diwarisi dan terbentuk oleh mental Bushido atau jalan hidup samurai (kerja keras, jujur, ikuti pemimpin, tidak individualis, tidak egois, bertanggungjawab, bersih hati, harus tahu malu). Beliau bercerita bahwa ada seorang Hakim di zaman itu yang bekerja dengan penghasilan pas-pasan tetapi tetap bersikap jujur dan tegas dalam mengadili semua perkara meski kemudian harus meninggal karena kekurangan gizi, tetapi tetap memiliki semangat pengabdian yang luar biasa untuk penegakkan keadilan meski banyak upaya untuk merubah keputusannya dengan berbagai cara termasuk menyogoknya dengan sejumlah uang yang jauh lebih besar dari penghasilannya.

SONTOKU DAN YUKICHI : PEMBANGKIT SEMANGAT BELAJAR MANUSIA JEPANG
Kisah Kinjiro atau Ninomiya Sontoku (1787-1856) adalah juga catatan yang menarik. Kisah seorang Sontoku yang yatim ditinggal ayahnya, dan kemudian pada usia 15 tahun ia harus bekerja siang malam sambil membaca buku hingga menjadi manusia sukses yang masih tetap rajin bekerja dan belajar hingga menjadi orang yang berpengaruh. Kalau kita cermati dari namanya Sontoku bisa diartikan Son (hormat) dan Toku (berbudi). Sosok yang terhormat karena ahlaknya yang tak kenal lelah bekerja dan belajar.

Kisah Iukuzawa Yukichi (1835-1901) yang hidup di zaman Sakoku (Isolasi) adalah juga kisah yang mengagumkan, Yukichi adalah seorang anak samurai berpangkat tinggi. Dengan semangat belajarnya yang tinggi dan langsung dipraktekkan menjadikannya seorang pemikir yang tangguh. Kerja kerasnya untuk menguasai bahasa Belanda dan Inggris yang mendorongnya untuk belajar ke negeri Belanda dan Amerika telah menjadikannya seorang yang fasih berbahasa asing. Yukichi telah melahirkan pernyataannya yang popular tentang pentingnya menguasai ilmu: “ meski miskin seorang yang berilmu akan tetap berharga”. Pernyataan lainnya yang sangat berpengaruh bagi bangsa Jepang adalah “ Sekarang tidak perlu alat-alat perang, yang paling penting adalah Belajar! ”. Pendiri Keio University ini juga mengatakan “ Kekuatan Pena lebih kuat dari kekuatan Katana (militer) “. Atau kita bisa mencermati bukunya yang popular yang berjudul “Gakumon No Susume” yang menggerakkan manusia Jepang untuk Belajar , atau pernyataan egaliteriannya yang menarik “ Tenwa Hitono Ueni Hitoo Tsukurazu Hi tono Shitani Hitoo Tsukurazu”. (Tuhan menciptakan manusia itu sama, tidak ada yang di atas dan di bawah/ semua manusia itu memiliki hak dan peluang yang sama). Pesan ini untuk membongkar kasta-kasta sosial di masyarakat Jepang yang membelenggu manusia Jepang pada saat itu, termasuk kultur struktur sosial Jepang yang membelenggu pencarian manusia Jepang akan Ilmu dan kesuksesan Hidup. Pada saat itu kapasitas keilmuan dan kesuksesan hidup hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang berdarah biru.
Kisah Kinjiro atau Ninomiya Sontoku dan kisah Iukuzawa seperti yang saya uraikan di atas adalah sejarah manusia Jepang yang pengaruhnya besar bagi bangkitnya kesadaran intelektualisme di Jepang. Walhasil dari uraian di atas setidaknya bisa dipahami bagaimana pengaruh Restorasi Meiji, dan para pendahulunya yang menggerakkan manusia Jepang untuk mencari ilmu. Hasilnya? Filosofi “mengejar kesempurnaan” menjadi sebuah kenyataan yang terus berjalan hingga saat ini.
Pengaruh-pengaruh lainnya yang membuat bangsa Jepang maju tentu saja banyak, termasuk pengaruh kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905 yang membuat mereka merasa sejajar dengan bangsa Eropa. Pengaruh PD II juga hal lainnya yang membuat Jepang bangkit dari kekalahannya, meski harus menjadi “kacung”nya Amerika, baik dari soal politik internasionalnya maupun budayanya.

FENOMENA NEET DAN PARETO PRINCIPLE
Saya saat ini sedang mengamati fenomena NEET (Not in Education, Employment or Training) di kalangan muda Jepang. Fenomena NEET ini menjadi menarik karena secara sosio psikologis adalah mirip sebuah bentuk pemberontakan anak muda Jepang atas kemapanan, mereka melakukan semacam pelarian atas ketidakberdayaannya karena kekejaman kapitalisme. Mereka anak muda Jepang yang tidak mau sekolah, tidak mau bekerja, termasuk tidak mau di training, mereka jumlahnya tidak sedikit dan kabarnya sudah memiliki organisasi. Mereka sangat menggantungkan hidupnya pada orang tua mereka. Dalam sebuah survey, kantor Kabinet Jepang membagi dua kategori NEET ini, yaitu kategori “Tidak mencari kerja” dan “Tidak berkeinginan (kerja)”.
Di penghujung ulasan ini, saya sengaja mengangkat NEET untuk melihat Jepang secara obyektif, dari sinilah sisi-sisi lemah manusia Jepang bisa kita cermati. Bahwa di balik kebesaran bangsa Jepang kita bisa melihat sisi-sisi lemahnya secara sosiologis dan psikologis. Untuk hal ini mungkin bisa dilakukan kajian khusus lebih lanjut tentang realitas sosiologis anak muda Jepang.
Di sisi yang lain ada satu catatan menarik yang bisa kita pelajari dari negara yang sudah maju seperti Jepang ini, yakni Pareto Principle (Vilfredo Pareto, 1906) benar-benar berjalan di negeri Samurai ini. Sebuah teori yang meyakini perbandingan peran dan kontribusi dengan perbandingan 20% berbanding 80%. Jika menggunakan perspektif Vilfredo Pareto untuk memahami Jepang maka kira-kira penjelasan singkatnya seperti ini : 20% manusia Jepang telah menolong 80% manusia Jepang lainnya. Artinya, mungkin kelompok anak muda NEET yang menggejala di Jepang ini masuk dalam bagian 80% yang tertolong itu. Namun demikian fenomena NEET ini sempat mengkhawatirkan pemerintahan Jepang karena Jepang akan kehilangan beberapa persen pajak dari warganya yang tidak mau bekerja ini.

SEBUAH PERTANYAAN
Walhasil filosofi bangsa Jepang lahir dari kebesaran spirit para pendahulunya. Selain itu konsistensi karakter manusia Jepang baik di rumah, sekolah maupun di masyarakat , juga berpengaruh bagi terwujudnya social order yang nampak otomatis dimiliki manusia Jepang. Realitas bangsa Jepang yang sungguh-sungguh memberikan kontribusi dan menolong manusia lainya (20% : 80%), juga memberi pengaruh bagi terbentuknya karakter manusia Jepang dengan filosofinya yang rasionalis. Namun, kekhawatiran akan generasi muda Jepang yang tergilas kapitalisme (seperti fenomena NEET) juga merongrong masa depan Jepang puluhan tahun mendatang, diduga Jepang akan kehilangan sekitar 1 juta generasi muda akibat fenomena sosial semacam ini. Beberapa kalangan menduga Jepang akan kekurangan 100 juta tenaga kerja menengah ke bawah pada tahun 2050. Akankah filosofi bangsa Jepang tergilas logika kapitalisme yang justru sampai saat ini masih dipuja-puja pemerintahnya? Akankah kekuasaan (dominasi negara di Asia) pada puluhan tahun mendatang akan bergilir ke wilayah lain? Adakah Indonesia bisa belajar dari fenomena Jepang ini?
(Oleh : Arif Faizin)

Senin, 23 Januari 2012

Rindu yang Telah Tenggelam

Adakalanya kita merasakan rindu yang amat sangat, apalagi pada seseorang. Entah itu kekuatan apa dan darimana. Seringkali hati kita merasa sesak tiba-tiba saat kita berjumpa dengan orang yang kita rindu itu. Bahkan, hanya sekedar mendengar namanya atau melihat sosoknya?
Ada sebuah kisah yang ingin saya bagikan buat kalian, kawan...
Suatu hari di sebuah agenda pelatihan keorganisasian...  Hari itu menjadi tidak biasa bagi saya. Acara demi acara terlewati, tibalah waktu ishoma (istirahat, sholat, makan-red). Semua peserta beranjak menghadap Tuhan-nya, kecuali saya.
“Mbak Dey nggak sholat?”, tanya salah satu teman
“ Lagi nggak boleh sholat... hehe.”,  jawab saya penuh senyum kemenangan (maksudnya?)
“Oh, kalo begitu aku ikut gabung sama mbak Dey saja,”
 Lho? Ternyata dia juga lagi halangan. Ya sudahlah,  akhirnya kami ngobrol-ngobrol di teras basecamp putri yang kebetulan menghadap masjid.  Ketika kami sedang asyik ngobrol, tiba-tiba dada ini merasa sesak luar biasa. Saya melihat seseorang yang tidak asing melintas di halaman masjid. Tapi, benarkah dia? Mata saya terus mengikuti kemana sosok itu berjalan. Saya masih hafal betul bagaimana caranya berjalan, dan caranya menundukkan kepalanya...  Sosok itu, benarkah?
Hati ini rasanya tersengat bukan main. Dampaknya, tubuh saya lemas, gemetar, dan kedua tangan saya mengeluarkan keringat dingin. Apalagi setelah saya menyadari betul, kalau sosok itu benar-benar orang yang selama ini saya rindu. Dan mungkin, dia pun menyadari keberadaan saya. Tanpa berpikir panjang, saya langsung beranjak dari tempat itu. Masuk ke dalam ruangan, bersembunyi dari sosok itu. Sisa-sisa gemetar pun masih saya rasakan...
Rindu yang amat sangat, akan tetapi rindu yang dilarang oleh agama. Ya, selama ini saya telah merindukan seseorang yang ‘belum’ halal bagi saya. Kadang keluhan-keluhan itu pun berdatangan. Di saat saya telah bertekad untuk melupakan, menghapus lembaran demi lembaran kenangan di masa lalu, justru sosok itu datang sebagai ujian berat bagi saya. Saya menyadari, bahwa... sudah lama sekali saya terjebak dalam kubangan “maksiat” yang telah menodai hati ini. Astaghfirullahal’adzim... Mulai detik itu juga, saya benar-benar memantapkan azzam untuk tidak memendam rasa dalam hati dan tidak menempatkan ‘nama’ seseorang yang belum halal bagi saya!
Cerita di atas nyata, kawan... mungkin kalian juga pernah mengalaminya. Segara sadari dan waspadai terhadap perasaan ‘rindu’ itu, karena keterlambatan menyadari perasaan itu mungkin akan berdampak pada hati yang sedikit demi sedikit suram oleh noda ‘maksiat’.
Biarlah rasa rindu itu berakhir pada muara yang sebenarnya. Tanpa menggantikan singgasana rindu dan cinta kita pada Allah, Dzat Yang Maha Menguasai hati... 


Akhirnya aku segera tersadar
Hanya pada Allah  lah tempat aku bersandar
Yang akan menguatkan hatiku yang terkapar
InsyaAllah azzamku akan terwujud lancar 
(Suara Persaudaraan: Hasrat Hatiku) 

Edited; 23 Januari 2012
(dey, Kamar Cinta nomor 3)


Tangisan Seorang Sahabat


Kembali tergoncang.....
Seorang sahabat menangis tersedu, menghadapku dengan wajah sembab tak karuan
Tangannya entah gemetar atau tidak, yang pasti hatinya sedang gemetar
Aku dengarkan semua yang dia katakan, meski tak semua ucapannya terjerembab di otakku
Atau hanya lewat dan pergi tanpa salam, tapi aku tetap mendengarkannya
Hingga satu demi satu bulir bening menetes dari ujung matanya
Sesenggukkan menatap ke atas, lalu dagunya diangkat
Aku yakin sebenarnya ia tak ingin mengalirkan air mata
Tapi hatinya terlalu sakit, bahkan mungkin sudah tercabik
Aku hanya diam, terus saja mendengarnya berbicara
Kadang di satu waktu aku berbicara, sedikit
Atau meng”iya” kan pertanyaan-pertanyaan lugunya
Pada wajahnya yang menyedihkan itu, mataku pun mulai berkaca
Aku ingin ikut menangis...
Allah pasti akan menguatkan, meneguhkan hati-hati yang bersandar padaNya
Allah pasti akan mengaitkan, merekatkan kembali hati-hati yang rindu padaNya....

Selasa, 22 November 2011
(Dey, Kamar Cinta no.4)