Merangkum percakapanku dengan Abah kemarin. Ringan.... tapi begitu dalam.
"Angine gedhe kaya kiye, gendhenge gigal ora mikirke bathire. ya anu padha mikir, ' Lah, wong ngene bathire ya padha gigal!'" ( Anginnya kenceng kayak gini, gentengnya jatuh gak mikirin tetangga. Soalnya semua bepikir,' Lah, gentengnya tetangga juga sama, pada jatuh!)
"Angine gedhe kaya kiye, gendhenge gigal ora mikirke bathire. ya anu padha mikir, ' Lah, wong ngene bathire ya padha gigal!'" ( Anginnya kenceng kayak gini, gentengnya jatuh gak mikirin tetangga. Soalnya semua bepikir,' Lah, gentengnya tetangga juga sama, pada jatuh!)
" Hm... nggih."
Aku hanya tersenyum meng-iyakan. Lalu, Abah pun melanjutkan perkataannya,
" Ya Allah... apa maning angger kiamat ngesuk, kabehan sibuk mikirke awake dhewek. Anak kelalen, bojo kelalen, omah kelalen, kelalen kabeh!" (Ya Allah... apalagi kalo kiamat besuk, semua sibuk memikirkan diri sendiri. Anak, istri, rumah ; lupa. Lupa akan semua!)
" Ya Allah... apa maning angger kiamat ngesuk, kabehan sibuk mikirke awake dhewek. Anak kelalen, bojo kelalen, omah kelalen, kelalen kabeh!" (Ya Allah... apalagi kalo kiamat besuk, semua sibuk memikirkan diri sendiri. Anak, istri, rumah ; lupa. Lupa akan semua!)
Kemudian, beliau menyambungnya dengan potongan sebuah ayat (*saya lupa bunyinya... ^^), yang intinya menjelaskan keadaan manusia pada hari kiamat kelak; manusia lari tunggang-langgang, sibuk menyelamatkan diri mereka sendiri.
" Hhhh..." , aku dengar nafas berat Abah.
" Sibuk menyelamatkan diri sendiri ya, Bah?", kataku menanggapi beliau.
" Iya. Ya Allah... mulane sing padha ana syukure, ora duwe duwit kaya kiye ya ora papa, sing penting sehat, waras. MasyaAllah... kelingan jaman remajane budhe, saiki gerah kaya kae." (Iya. Ya Allah... makanya yang banyak bersyukur, gak punya uang kayak gini ya gak apa-apa, yang penting sehat. MasyaAllah.. ingat jaman remajanya budhe, sekarang malah sakit kayak gitu."
Kata beliau sambil merebahkan diri di kursi kayu favoritnya. Matanya yang masih tajam itu menerawang langit di luar dan memperhatikan bagaimana angin kencang menyibak pepohonan di kebun belakang rumah. Aku pun mengikuti jejak Abah, ikut larut menatap pemandangan dari balik jendela.
Setibanya dari Jogja, saya tidak langsung ke rumah, tapi singgah ke rumah simbah dulu karena waktu sudah petang, pas adzan Maghrib. Ternyata ba'da Isya, Ibu, Abah, dan dik Barok juga mampir... Bersualah rinduku di situ...:).
" Mbak, nderek teng daleme budhe riyin nggih? ( Mbak, ikut ke tempat budhe dulu ya?) " kata Ibu.
" Wonten nopo, Bu?"
" Budhe gerah... "
Rumah budhe tidak jauh dari rumah simbah, hanya terpisah tiga rumah. Sesampainya di sana, barulah saya tahu kalau budhe sakit parah dan sedang menjalani kemoterapi. Hm... betapa mahalnya sehat itu. (*sepotong kisah...)
Sore itu angin begitu kencangnya, mencoba mengoyak pepohonan. Pohon kelapa, lamtoro, pohon nangka, pohon pisang, salam, cengkih, pohon rambutan, dan bambu.... berlomba-lomba mempertahankan diri. Jadi mirip cerita Abah, seperti manusia di hari kiamat, yang sibuk menyelamatkan diri sendiri. Membayangkan hari kiamat yang luar biasa dahsyatnya, tentu ilmu kita tidak akan pernah sampai. Tapi, Allah sudah memberi penjelasan dalam Al Qur'an, bagaimana keadaan di hari kiamat kelak. Semoga kita semua tidak menjadi saksi atas hari dimana dipertemukannya gunung-gunung dan lautan. Na'udubillah.
Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah.” Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.(QS. Al-Ahzab (33): 63)
... dalam keremangan,
di bawah cahaya lilin
* semangat perbaikan itu tak akan pernah meredup
Rabu, 25 Januari 2012
(dey, Rumah Cinta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar